Senin, 26 Agustus 2013

PEMBERANTASAN KORUPSI DI CHINA DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DI INDONESIA


PEMBERANTASAN KORUPSI DI CHINA DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Bayu Dwi Nurcahyo

Abstrak : China (RRC) adalah sebuah negara komunis dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, dengan populasi melebihi 1,3 miliar jiwa. Sejak didirikan pada 1949, RRC telah dipimpin oleh Partai Komunis Cina (PKC). Sekalipun disebut sebagai negara komunis, kebanyakan ekonomi republik ini telah diswastakan sejak tiga dasawarsa yang lalu. Namun pemerintah masih mengawasi ekonominya secara politik terutama dengan perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan sektor perbankan. Secara politik, ia masih tetap menjadi pemerintahan satu partai. Meskipun sudah dikuasai oleh satu partai yang sangat kuat, yang berarti bahwa hampir seluruh rakyat China tunduk pada pemerintahnya, bukan berarti China terlepas dari ancaman yang dapat meruntuhkan Negara tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Hu Jintao sesaat sebelum meletakkan jabatannya, bahwa korupsi adalah ancaman terbesar China. Kegagalan membendung korupsi dapat menyebabkan keruntuhan partai dan jatuhnya Negara China.

Kata Kunci: korupsi, China, Hukuman Mati, Pelanggaran HAM.

1.    PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Komitmen kuat penguasa China untuk memberantas korupsi sudah dimulai sejak masa Zhu Rongji (1997-2002). Pemberantasan korupsi yang dilakukan Perdana Menteri China itu, merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Langkah ini memberikan kepastian hukum sehingga mendorong iklim investasi yang mampu menghimpun dana asing senilai 50 miliar dollar AS setiap tahun. Pertumbuhan ekonominya langsung melesat– terlepas dari kelemahannya.

Sayangnya langkah itu justru menyurut di bawah Presiden Jiang Zemin pada awal 2000-an. Jiang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya– geng Shanghai. Jiang Mianheng putra sulungnya, selain difasilitasi dalam usaha bisnisnya, juga diberi jabatan. Jiang pun menghimpun dana tak terbatas dari sejumlah departemen untuk menindas kelompok politik dan spiritual yang dianggap sebagai musuhnya, seperti Falun Gong.

Setelah Hu Jintao berkuasa, api pemberantasan korupsi kembali menyala. Penguasa China itu memperingatkan kepada para anggotanya bahwa korupsi mengancam partai di tampuk kekuasaan. Baginya, kekuasaan PKC tidak bisa dianggap keniscayaan semata, sedangkan gerakan antikorupsi merupakan “perjuangan hidup dan mati” bagi partai komunis.

Seperti yang diungkapkan oleh Hu Jintao sesaat sebelum meletakkan jabatannya, bahwa korupsi adalah ancaman terbesar China. Kegagalan membendung korupsi dapat menyebabkan keruntuhan partai dan jatuhnya Negara China. Oleh sebab itu, untuk menjaga keutuhan negara perlu dilakukan upaya-upaya terbaik dalam pemberantasan korupsi.

1.2. Rumusan Masalah
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam tulisan ini yaitu tentang :
a.Langkah-langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan di China dari masa Zhu Rongji sampai dengan Hu Jintao.
b.Kemungkinan penerapan vonis mati bagi koruptor di Indonesia.

2.  PEMBAHASAN

Zhu Rongji Perdana Menteri China (1998-2003) berhasil memberantas tuntas korupsi di negeri China, terutama berkat pelaksanaan dari fatwanya yang terkenal di seluruh dunia yaitu (”To eradicate CORRUPTION, I've prepared 100 coffins. 99 for corrupt officials and one for myself, if I do the same,” said by Zhu Rongji, Premier 1998–2003.). Melalui mekanisme hukuman mati tersebut, Korupsi di China menurun drastis, dan China menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang diakui dan disegani oleh negara-negara barat, buktinya Amerika Serikat konon kabarnya sampai meminta bantuan keuangan dari China untuk mengatasi utang Negara tersebut.

Saat Hu Jintao berkuasa, Hu memilih melakukan langkah pembersihan bukan dengan mengirimkan sebanyak mungkin politikus nakal ke tiang gantungan, namun demikian bukan berarti Hu menghapus hukuman mati. Salah satu upaya bersih-bersih itu adalah dengan memperketat pengawasan intra-partai, penegakan hukum, serta pengawasan melalui opini publik, untuk memastikan bahwa para pelaksana kekuasaan melakukannya secara transparan. "Semua orang yang melanggar disiplin Partai dan undang-undang negara, siapa pun mereka dan apa pun kekuasaan atau posisi resmi mereka, harus dibawa ke pengadilan tanpa ampun," kata Hu. 

Terbukti sepanjang 2004, pemerintahan Hu telah menghukum sebanyak 164.831 anggota partai karena menguras uang negara lebih dari 300 juta dollar AS. Sebanyak 15 diantaranya menteri. Selama 6 bulan pertama 2007, angka resmi menyebutkan 5.000 pejabat korup dijatuhi hukuman. Terakhir, mantan Direktur Administrasi Negara untuk Makanan dan Obat-obatan Zheng Xiaoyu yang terbukti menerima suap 6,5 juta yuan (sekitar Rp 75 miliar) dieksekusi mati.

Sampai saat ini sejumlah langkah pemberantasan korupsi tak hentinya dilakukan pemerintah China. Baru-baru ini, nama-nama dan gambar pejabat negara yang korup dipajang dalam sebuah pameran di Beijing. Warganya juga dididik agar membenci koruptor melalui game online, dimana para pejabat yang korup boleh dibunuh dengan senjata, ilmu hitam, atau disiksa. Ini bukti keseriusan China dalam memberangus korupsi, sehingga ancaman akan kehancuran China dapat terhindar. Namun, sejauh ini diantara semua hukuman tersebut, hukuman mati-lah yang paling signifikan pengaruhnya dalam pemberantasan korupsi. Hal tersebut terbukti pada masa pemerintahan Zhu Rongji pada tahun 1998-2003.

Yang menjadi pertanyaan adalah dapatkah hukuman mati bagi para koruptor dapat diterapkan di Indonesia?
Hukum Indonesia menetapkan bahwa pidana mati merupakan salah satu pidana pokok yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum dan pelanggar HAM berat. Hal ini dapat kita lihat dari pasal 10 KUHP yang menyebutkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa berdasar bukti-bukti formil maupun materil yang ada. Meskipun secara normatif pidana mati ada dan memiliki kekuatan hukum atas vonis dan eksekusinya, akan tetapi perdebatan mengenai pidana mati tetap ada dan berkembang seiring dengan perubahan paradigma masyarakat akan pidana mati. Banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih layak atau relevan sebagai suatu hukuman di Indonesia?. Bila ditilik lebih jauh, pertanyaan seperti itu sebenarnya muncul sebagai refleksi atas inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Orang-orang yang mempertanyakan legalitas hukuman mati mendasarkan argumentasinya pada pasal 28 A UUD 1945 yang menyebutkan, ‘setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’. 
Harus diakui bahwa secara hermeneutik, pasal 28 A bertentangan dengan KUHP pasal 10 maupun peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang pidana mati. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah apakah secara filosofis, muatan pasal 28 A dengan KUHP pasal 10 atau peraturan perundangan lainnya saling bertentangan satu sama lain?. Pertanyaan inilah yang sampai kini belum mendapat jawaban yang akseptabel bagi semua pihak.
Dalam UU No.31 tahun 1999 mencantumkan pidana mati sebagai pidana atas terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut tergambar dalam pasal 2 ayat 2 yang menyebutkan ‘dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Dalam penjelasan undang-undang ini, ‘keadaan tertentu’ dimaksudkan bahwa pidana mati dijatuhkan atas tindak korupsi yang dilakukan saat negara berada dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis moneter. Jadi, secara normatif pidana mati hanya dijatuhkan atas tindak pidana korupsi tertentu, bukan tindak pidana korupsi secara umum. Hal ini pun semakin menegaskan bahwa pidana mati tidak merampas hak hidup seseorang; pidana mati bukanlah pidana yang diterapkan pada semua tindak pidana; pidana mati adalah pidana yang sifatnya kasuistik dan melalui serangkaian proses panjang untuk menjatuhkannya.
Dalam kasus tertentu hukuman mati tidak melanggat HAM dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan UUD 1945 dengan redaksi ‘....melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencedaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial’[6]. Pemerintah memiliki kewajiban untuk senantiasa menjaga ketentraman dan integrasi bangsa dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu, tindak pidana korupsi pada kasus-kasus tertentu tersebut harus dihukum seberat-beratnya dengan pidana mati dengan berdasar pada tekad untuk menjaga integrasi bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Sebagai tambahan, bahwa hukuman mati tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia. Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial[7].

3.    KESIMPULAN
Berbagai mekanisme hukuman telah dilakukan oleh Pemerintah China guna memberangus korupsi di negara tersebut, mulai dari hukuman teringan sampai dengan hukuman terberat yaitu vonis mati. Sejauh ini diantara semua hukuman tersebut, hukuman mati-lah yang paling signifikan pengaruhnya dalam pemberantasan korupsi. Hal tersebut terbukti pada masa pemerintahan Zhu Rongji pada tahun 1998-2003.
Dalam ‘keadaan tertentu’ pidana mati atas koruptor dapat diterapkan di Indonesia. Hal tersebut bukan merupakan suatu pelanggaran HAM dan tidak bertentangan dengan UUD 45. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah tindak korupsi yang dilakukan saat negara berada dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis moneter.

4.    DAFTAR PUSTAKA
(1)  http://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Rakyat_Cina. Diakses tanggal 25 Agustus 2013.
http://shohibustsani.blogspot.com/2012/08/ham-kontroversi-hukum-pidana-mati.html. Diakses tanggal 25 Agustus 2013.

1 komentar: