Rabu, 10 Juli 2013

Mereka Sudah Menjadi Jenderal, Ketika Masih Sangat Muda.

Jenderal Sudirman
" When you can leap, why you step forward ". Itulah mungkin ungkapan yang paling tepat untuk menghormati ketangguhan dan kehebatan pemuda-pemuda tersebut. Tidak harus menunggu tua untuk menjadi seorang pemimpin, bahkan pemimpin Negeri sekalipun. Yang dibutuhkan adalah keikhlasan dan keberanian untuk mewujudkan keadilah bagi Bangsa dan Negara.

Ketika Negara dipimpin oleh orang-orang seperti itu, Insya Allah kebaikan dan kesejahteraanlah yang akan dirasakan oleh rakyatnya.

Mereka rela mengorbankan kesejahteraan mereka demi kesejahteran rakyatnya. Mereka rela mengorbankan jiwa raganya demi keutuhan bangsa Indonesia. 

Kebahagiaan mereka adalah ketika mereka bisa memberikan yang terbaik bagi Bangsa dan Negara. Dan mereka percaya bahwa apa yang mereka lakukan adalah apa yang diharuskan oleh tuhan Yang Maha Esa.

Mereka adalah Jenderal Sudirman dan Brigjen. Slamet Riyadi. Mereka Sudah Menjadi Jenderal, Ketika Masih Sangat Muda. Mereka diangkat bukan karena relasi, bukan karena garis keturunan, atau alasan politik yang hanya menguntungkan beberapa pihak. Tetapi, mereka ditunjuk adalah atas kebesaran dan keikhlasan mereka untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.

Jenderal Sudirman ( lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 dan meninggal 29 Januari 1950). Ia diangkat menjadi seorang Jenderal ketika masih berusia 29 tahun. Sangat muda untuk memimpin bangsa ini. Dan bahkan menjadi salah satu Jenderal Termuda di Dunia. Di usia yang masih muda itulah, Sudirman sudah memiliki jiwa, visi, dan kepemimpinan melebihi orang-orang yang jauh di atas usianya. Dalam keadaan sakit TBC yang sudah akut sekalipun, beliau tetap rela berjuang bergerilya hanya demi masa depan bangsa dan negara. Dia selalu mengorbankan semangat dirinya dan anak buahnya dengan kalimat " Insaf-lah! barang siapa mati, padahal (hidupnya) belum pernah berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perangpun tidak, maka matinya Ia di atas cabang kemunafikan ".

Brigjen. Slamet Riyadi
Brigadir Jenderal TNI Anumerta Ignatius Slamet Rijadi (EYD: Riyadi; lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Juli 1927 – meninggal di Ambon, Maluku, 4 November 1950 pada umur 23 tahun). Dia sudah diangkat menjadi Let.kol pada usia 22 tahun. Usia yang masih sangat belia untuk menjabat posisi itu.

Pada suatu peristiwa saat akan diadakannya peralihan kekuasaan di Solo oleh Jepang yang dipimpin oleh Sutjokan (Walikota) Watanabe yang merencanakan untuk mengembalikan kekuasaan sipil kepada kedua kerajaan yang berkedudukan di Surakarta, yaitu Kasunanan dan Praja Mangkunagaran, akan tetapi rakyat tidak puas. Para pemuda telah bertekad untuk mengadakan perebutan senjata dari tangan Jepang, maka rakyat mengutus Muljadi Djojomartono dan dikawal oleh pemuda Suadi untuk melakukan perundingan di markas Kempeitai (polisi militer Jepang) yang dijaga ketat. Tetapi sebelum utusan tersebut tiba di markas, seorang pemuda sudah berhasil menerobos kedalam markas dengan meloncati tembok dan membongkar atap markas Kempeitai, tercenganglah pihak Jepang, pemuda itu bernama Slamet Rijadi.

Bahkan saat terjadi gencatan senjata dengan Belanda dan penyerahan kota Solo kepangkuan Republik Indonesia, Overste Van Ohl yang mewakili pihak Belanda demikian terharu begitu mengetahui bahwa Letkol. Slamet Rijadi—sebagai wakil pihak RI— yang selama ini menjadi musuh dan buronannya ternyata masih sangat muda. Ia dilaporkan berkata, " Oooh ... Overste tidak patut menjadi musuh-ku ... Overste lebih pantas menjadi anakku, tetapi kepandaiannya seperti ayahku".

Itulah sedikit profil tentang mereka. Yang jadi pertanyaan, akankah muncul kembali pemuda-pemuda yang berjiwa besar seperti mereka? kalau ada, maka jadikanlah dia menjadi pemimpin, Insya Allah mereka akan memberikan yang terbaik buat bangsa ini.

Ditulis oleh : Bayu Dwi Nurcahyo
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar